Pada buku The Killers: Ayam Jantan Berkokok Lagi, terdapat anekdot
soal masih bingungnya orang Malaysia pada orang Indonesia soal istilah
penyebutan nama sepak bola. Mereka menyebut sepak bola dengan bola
sepak.
Kita boleh saja tertawa. Tapi, anekdot itu seakan menggambarkan pada
kita tentang perseteruan dengan Malaysia. Tidak hanya berseteru soal
istilah, sosial-budaya, politik, tapi juga hingga ke dunia olahraga yang
menjunjung tinggi sportivitas. Khusus di lapangan hijau, Malaysia kerap
berulah meski beberapa kali ditolong oleh Indonesia.
Tahun 1969, misalnya, kejuaran sepak bola Merdeka Games berada dalam
bahaya akibat kerusuhan rasial di Kuala Lumpur. Efeknya, jadwal turnamen
kebanggan mereka itu diundur dan pengunduran jadwal itu berdampak pada
semakin dekatnya waktu penyelenggaraan King’s Cup di Bangkok, yang
rencananya juga diikuti oleh timnas Indonesia sebagai juara bertahan.
(Drama itu bernama sepak bola, Arief Natakusumah).
Namun, karena perlu memulihkan citra di mata Internasional, Malaysia
tetap ngotot mencari solusinya. Akhirnya mereka merengek, meminta
bantuan pada Indonesia, dalam hal ini PSSI, agar tetap mengirim timnas
A-nya (PSSI Harimau).
Alasannya amat politis. Dengan kehadiran tim nasional Indonesia, yang
waktu itu cukup disegani di Asia, dengan shahih mereka mengklaim pada
dunia bahwa KL telah aman dari keributan.
Selaku “abang tua”, Indonesia cukup lunak terhadap Malaysia. PSSI
akhirnya mengirimkan timnas A-nya. Padahal rencana awal, timnas yang
disiapkan untuk Merdeka Games ialah timnas B (PSSI Banteng). Sejarah
mencatat, Indonesia sukses menjuarai Merdeka Games, tapi tidak untuk
mempertahankan titel juara King’s Cup di Bangkok, Thailand.
Begitu baiknya Indonesia terhadap Malaysia ketika itu, sehingga
Indonesia melupakan peristiwa satu dekade sebelumnya. Pasca PSSI
berhasil meraih medali perunggu Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang,
Malaysia memanggil pulang pelatih Choo Seng Que, orang Singapura yang
melatih Indonesia pertama kali. Saat itu Singapura masih bagian dari
Malaysia. Di kemudian hari, “Uncle Choo” disebut sebagai “the greatest
postwar coach in Malaysia-Singapore”.
Keluar sedikit dari lapangan hijau, di arena karate pada medio 2007,
Malaysia juga membuat ulah. Ketua Dewan Wasit Karate Indonesia, Donald
Pieters, dipukuli oleh oknum polisi Malaysia. Akibatnya, Donald harus
mendapat perawatan serius. Sayangnya, hingga kini tak jelas kelanjutan
dari kasus tersebut. (Antaranews.com, Senin, 27 Agustus 2007).
Kini, seakan lupa oleh belas kasih “abang tua”-nya, suporter Malaysia
berulah. Menjelang laga hidup-mati Indonesia versus Malaysia pada hari
Sabtu, 02/12/2012, beredar video rasis yang diidentifikasi sebagai
suporter Malaysia. Dalam video yang beredar luas di situs Youtube itu
terlihat suporter Malaysia menyanyikan yel-yel yang menyamakan bangsa
ini dengan binatang.
Parahnya, ternyata aksi rasis tersebut bukan untuk pertama kalinya. Dari
penelusuran media online, Beritasatu.com, suporter Malaysia pernah juga
menyanyikan yel-yel bernada penghinaan terhadap Indonesia pada saat
timnas Malaysia bertanding melawan Suriah di Stadion Bukit Jalil.
Mengingat betapa “kurang ajarnya” yel-yel rasis suporter Malaysia dan
aksi pemukulan terhadap para suporter Indonesia, maka sudah sewajarnya
“abang tua” yang selalu mengalah pada adiknya untuk menjewer adiknya
yang kurang ajar itu. Bahkan bila perlu, sang adik harus digebuk,
minimal sebagai pelajaran.
Dan waktu yang tepat untuk menjewer dan menggebuk sang adik, Malaysia,
ialah di lapangan hijau. Yaitu pada saat Indonesia bertemu dengan
Malaysia pada laga hidup-mati di stadion Bukit Jalil, Sabtu, 02/12/2012.
Selamat “menjewer” Garuda-ku! “Sang adik” harus dijewer agar mengingat
belas kasih “abang tua”-nya. Kami, dari Bandung, selalu mendukung PSSI
dan tim nasional Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar